* Kerajaan Kutai
Kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai.
Kerajaan ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang
menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman
dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra
Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai
yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan
Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui
bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa
keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah
Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
*Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti
yang berhasil ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti
pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum
dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada
kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti
terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten,
Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan
kerajaan Tarumanegara adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan
sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara
adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan
catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti,
yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui
bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah
yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang
panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22,
Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
* Kerajaan Melayu
Kerajaan-kerajaan Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan
ke-7. Sejarah mencatat ada dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra,
yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya
selanjutnya mendominasi hamper seluruh informasi tentang kerajaan dari
Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu merupakan salah
satu kerajaan tertua di Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang
bias ditemukan, Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi,
tepatnya di tepi alur Sungai Batanghari. Di sepanjang alur Sungai
Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa candi dan arca.
Sumber sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk
keberadaan Kerajaan Melayu adalah catatan dari seorang pengelana dari
Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia menyebutkan bahwa pada abad ke-7
terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu yang secara politik
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita
I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka
yang merupakan jalur perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut
Kitab Negarakertagama, pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan
di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke Sumatra. Ekspedisi tersebut
disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu
muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17,
adityawarman, putra Adwayawarman memerintah Kerajaan Melayu.
Adityawarman memerintah hingga tahun 1375. Kemudian, digantikan oleh
anaknya Anangwarman.
* Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat
di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada
perkembangannya, wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi
wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah
Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari
seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya
antara tahun 685-689 M. Pada tahun 692, ketika I-Tsing, bias disimpilkan
bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan menguasai kerajaan-kerajaan
disekitarnya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta
Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah
Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan
Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan
Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai
peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan
berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di
Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja
Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang
juga dengan penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8,
wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai
Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina
Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti,
yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama
Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama
Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari
India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh
seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan
Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya.
Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
* Kerajaan Mataram Kuno
Di wilayah Jawa Tenggah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah
Kerajaan Mataram Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang
terletak di pedalaman Jawa Tenggah. Daerah tersebut memiliki banyak
pegununggan dan sungai seperti Sungai Bogowanto, Sungai Progo, dan
Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno juga sempat
berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa
Tenggah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.
1. Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari
Sriwijawa ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya
itu menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah
timur.
2. Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda
pralaya atau kehancuran dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tenggah
dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir
memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan
Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis
dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram
Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh
keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita
ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil
menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan
pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang
pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja
Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi.
Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh
putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu,
Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui
bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah
Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung.
Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan
Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga
dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di
Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui
pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan
Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra.
Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak
berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada
Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut
beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah
terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra).
Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan
Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India),
yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan
sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno
menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini
dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan
agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa
ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan.
Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno
berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan
Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan
penasehat yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas
lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting
perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja
Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah
Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan
kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur
pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram
terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur
tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan
Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis
Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih
ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat
silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah
Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih
mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah
ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja
Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno
dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara
itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak
kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno
juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan
ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh
Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan
oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada
pertengahan abad ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti
Syailendra yang berhasil ditemukan, antara lain prasasti Kalasan,
Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778), menyebutkan
nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa
Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara
dan sebuah vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa kalah dalam
perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia
melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860),
menyebutkan asal usul Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja
Balaputradewa adalah putra dari Raja Samaratungga dan cucu dari Raja
Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno
mulai terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari
prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga
Sanjaya diperintah oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan,
sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra muncul dalam sejarah Kerajaan
Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh Dinasti Syailendra
terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra
menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya
yang bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa
kekuasaannya, dibangun Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut
selesai dibangun, Raja Samaratungga meninggal dunia, dalam sebuah perang
saudara. Balaputradewa kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya
dan menjadi raja disana.
* Kerajaan Medang Kemulan
Kerajaan Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya
di muara Sungai Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas.
Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada
awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan mencakup daerah
Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara
lain adalah Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu
Sindok ditemukan di Tangeran, Bangil, dan Nganjuk. Prasasti bertahun 933
yang ditemukan di Tangeran, Jombang, menyebutkan bahwa Raja Mpu Sindok
memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama permaisurinya Sri Wardhani
Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang lain adalah
Prasasti Kalkuta.
Prasasti bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang
menyebutkan silsilah keturunan raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari
beberapa sumber yang ditemukan, diketahui bahwa sebelum menjadi raja,
Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan Rakai Mapatih i
Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang
Kemulan dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama
permaisuri yang bernama Mpu Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani
Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau Dyah kebi ini dapat ditemukan
dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.
Dari Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para
pengganti Mpu Sindok. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri
Dharmawangsa dengan gelar Teguh Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti
ini di ketahui bahwa pada tahun 1016 Kerajaan Medang Kemulan diserang
oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa digambarkan mengalami
sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang yang meninggal,
termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu, Airlangga
(menantu Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri bersama
pengawalnya, Narottama. Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama
hamper dua tahun sampai akhirnya Airlangga berhasil menguasasi Kerajaan
Medang Kemulan kembali pada tahun 1019.
Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari
Waratan. Setahun Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya.
Akhirnya, pada tahun 1032, Raja Wurawari yang dulu menghancurkan
Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-musuhnys dikalahkan,
Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang diberi
gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya yang bernama Sanggraman Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino untuk menjadi raja. Namun, rupanya sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.
Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan
untuk membagi kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing
dipimpin oleh dua putranya. Hal itu dilakukan Raja Airlangga untuk
mencegah terjadinya perang saudara. Dengan bantuan seorang Brahmana
bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan
Jenggala (yang berarti hutan)dan Kerajaan Panjalu (kediri). Jenggala beribu kota di Kahuripan dan Panjalu beribukota di Daha.
* Kerajaan Kediri
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang
bergelar Sri Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya
sebagai titisan Dewa Wisnu seperti Airlangga. Raja kerajaan kediri
selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai
Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya
Parakrama Digjayatunggadewa. Dalam kitab Kakawin Smaradahana,
karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan
pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra Kirana, putrid
Jayabhaya.
Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara
Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parkrama Digjayotunggadewa
Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi perang
saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang
ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan
perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi
dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam
Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara dari Aryyeswara,
tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa
pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang
diwariskan Kerajaan Medang Kemulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo.
Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan
tertentu di Kerajaan Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan
Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai
dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa pemerintahannya,
cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga
bentu cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada
masa pemerintahannya, Kediri mulai mengalami masalah dan
ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan
mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel
(sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok.
Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri
menuju Tumampel. Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan
mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter
(1222). Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan
Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri kekuasaan Kerajaan Kediri.
* Kerajaan Singasari
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti Pararaton (Kitab Raja-Raja)
dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja.
Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika
Ken Arok berkuasa di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung
perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana
tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran di Ganter,
ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan
Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia
bergelar Sri Rangga Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai
empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola,
dan Dewi Rambi. Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai
empat orang anak, yaitu Mahisa Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya,
dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki seorang anak tiri, yaitu
Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken Dedes.
Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh
oleh anak tirinya Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian
Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok dibunuh dengan menggunakan keris Mpu
Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul Ametung. Kemudian Ken
Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari). Setelah Ken
Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja
kedua Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248.
Tohjaya yang mengetahui bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati,
merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya membunuh Anusapati juga dengan
mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya
kemudian mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada
tahun 1248. Ia tidak lama memerintah karena terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan Rajasa yang digerakkan oleh
Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa Cempaka, anak
Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan
melukai Tohjaya dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para
pengawalnya ke luar Istana, tetapi akhirnya meninggal di Katalang
Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan Singasari kembali
kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan
gelar Sri Jaya Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya
merebut tahta, memperoleh anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya,
pejabat terpenting kedua di Kerajaan Singgasari dengan gelar
Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan anaknya yang
bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja
(Raja Muda). Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun
1268. Ketika Wishnuwardhana meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di
dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago (Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung
dinobatkan sebagai Raja Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan,
Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan
Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita
memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut
dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu.
Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan
tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di
Padangroco (Sungai Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta
rayatnya menyambut hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan
bahwa Kerajaan Melayu secara resmi berada dibawah kekuasaan Raja
Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu kembali ke Singasari
untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh
pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang
rencana perluasan kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina.
Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke
Kerajaan Melayu menurut pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja
Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan sebagai pernyataan tunduk
kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan
sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar Kubilai Khan
marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian
besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk
menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di
Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan Kerajaan Singasari melihat
kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun 1292, Raja
Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan
Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana
sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh oleh musuh. Kerajaan
Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja Kediri.
* Kerajaan Bali
Informasi tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali
diperileh terutama dari prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau
913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri Kesariwarmadewa. Sri
Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti Warmadewa.
Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah
Kerajaan Bali yang berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri
Keariwarmadewa adalah Ugrasena. Selama masa pemerintahannya, Ugrasena
membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak
sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan
sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu
(kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga
tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang
kemalaman.
Pengganti Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah
bersama permaisurinya, ia berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul
di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak Siring. Pengganti Tabanendra
Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa. Kemudian Jayasadhu
Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahu secara pasti.
Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu
ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun
905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid
Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno.
Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa
pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan
sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana
dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal
sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti
yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan
Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja
Kerajaan Bali. Putra kedua Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya
karena putra mahkota Airlangga menjadi raja Medang Kemulan. Airlangga
menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan Medang Kemulan. Dari
prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat
menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya
meliputi daerah yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan
Bwahan (Danau Batur). Ia juga mengusahakn pembangunan candi di Gunung
Kawi.
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama
Anak Wungsu. Ia mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan
pemerintahannya. Anak Wungsu adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir
yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak mempunyai keturunan. Ia
meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi (Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana.
Raja ini digantikan Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka
hingga 1041 Saka. Raja Suradhipa kemudian digantikanJayasakti. Setelah
Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya selitar tahun 1155. Ia
digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah
Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan
Pulau Bali). Raja ini berusaha mempertahahankan kemerdekaan Bali dari
seranggan Majapahit yang di pimpin oleh Gajah Mada. Sayangnya upaya ini
mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau 1343, Bali dikuasai
Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah ke
Gelgel dan Klungkung.
* Kerajaan Pajajaran
Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya terletak di daerah Galuh, jawa
Barat. Raja pertama Kerajaan Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta
Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh saudara Raja Sena yang bernama
Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa meninggalkan keratin.
Tidak lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta Kerajaan
Pajajaran.
Raja Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa.
Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah oleh Rahyang Niskala Wastu
Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan dipindahkan ke
Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang Bubat.
Ketika perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh
pengiringnya tewas. Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora
(1357-1371), pengasuh putra mahkota Wastu Kencana yang masih kecil.
Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti Batu Tulis, raja
ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu
Kencana. Tohaan, lalu Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang
Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa di Kerajaan Pajajaran telah
terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini tergambar dari tulisan
seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires (1513) yang
mengatakan bahwa di wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut
Islam. Tampaknya pengaruh Islam belum masuk ke pusat kerajaan. Namun,
pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa Tegah mulai mengancam
Kerajaan Pajajaran.
Oleh karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di
Malaka untuk menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada
tahun1527, pasukan yang dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil
menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Pajajaran.
Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam, putra
Jayadewata.
Setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan
Pajajaran harus menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat.
Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu Dewata, berusaha mempertahankan ibu
kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan putranya, Maulana
Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah
Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota
kerajaan. Orang-orang Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk pada
penguasa Islam akhirnya melarikan diri kedaerah pedalaman dan kemudian
hidup sebagai suku Badui.
* kerajaan Majapahit
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja
yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya
membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang
berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna permukiman mereka itu sebagai Majapahit.
Daerah ini merupakan daerah yang diberikan Raja Jayakateang dari
Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu Raja
Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari
diserbu dan dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan
diri. Ia mencari perlindungan kepada Bupati Madura yang bernama Arya
Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura, ia membangun pemuliman di
Desa Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal
dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka
adalah menghukum Raja Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk
kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja
Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri.
Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut
kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina
dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu
menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan.
Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka
tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk
balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada
Cina kembali ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap
sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan
gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut
pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro
serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya
wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu
Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang
bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal
pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang
meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi,
Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra
yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian
digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang
berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa
pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan
yang paling berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada
tahun 1331. Namun pemberontakan itu pemberontakan itu dapat dipadamkan
oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan
para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah
palapa), sebelum ia dapat menundukan Nusantara.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang
diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi
mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372.
Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan
bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih
Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai
wilayah yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada
Majapahit.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi
titik tolak kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan
yang kuat dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk
juga meninggal pada tahun 1389. Hayam Wuruk tidak memiliki putra
mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang bernama
Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk
sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan
anak dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan
Majapahit.
Meskipun demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah
kekuasaan di wilayah Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan
cara tersebut, kemungkinan perpecahan antara Bhre Wirabhumi dan
Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah kembali timbul ketika tahta
Kerajaan Majapahit kembali kosong setelah Kusumawardhani meninggal dunia
pada tahun 1400. Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan
menunjuk putrinya, Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan
Wirabhumi yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru
berakhir pada tahun 1406 dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang
saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit. Satu demi satu daerah
kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan mampu
memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan
Majapahit runtuh sekitar tahun 1500-qn yang didasarkan pada tahun
bersimbol Sirna Ilang Kertaning Bhumi.
0 komentar:
Posting Komentar